Menerima Kenyataan

Setelah aku harus berhadapan dengan kenyataan, aku tidak tahu apa lagi yang harus aku tuliskan mengenai dirinya disini. 
Aku takut lagi-lagi semua itu hanya sekedar harapan atau khayalanku. Awal bulan ini, aku benar-benar hampir dibuat gila dengan kenyataan. Aku mulai memasukkan fakta demi fakta ke dalam kepalaku. 
Fakta bahwa dia tidak mencintaiku. Lalu aku pergi ke luar kota bersama keluargaku tanpa memberitahukannya.
Walau aku tidak memberitahu kepergianku aku menuliskan setiap update-an ke akun sosial mediaku. Jumat, Sabtu dan Minggu. 3 hari perjalanan tidak membuatku membaik. Aku semakin memikirkannya. Apalagi saat aku melihat dia keluar dari rumah pagi-pagi hari Sabtu yang lalu, aku merasa ada yang tidak beres. Aku merasa dia sedang mengalami satu hal yang mengganggu keberadaan hatinya. Aku mengkhawatirkannya.
Aku memikirkannya. Aku ingin menanyakan apa ada yang salah dengannya? tapi aku tidak punya keberanian. Aku ingin menyemangatinya, namun aku juga tidak berani.

Hari Minggu, aku sedikit bisa menerima kenyataan kalau ia tidak menyukaiku lebih dari teman. Pagi di hari Minggu itu aku melihat sebuah pantai yang indah. Keindahannya mampu mengalahkan keresahan hatiku, mampu membuatku melupakannya walau hanya untuk waktu dua jam. Karena setalah itu aku malah menginginkan dia berada di pantai itu bersama denganku. Melihat keindahan yang sama dengan yang kulihat.
Siang itu aku kembali ke Jakarta. Aku merindukannya. Aku mencoba mengupdate banyak hal, berharap dia memberikan respon dengan komentar ataupun hinaan. 
Namun, tidak ada yang terjadi. Disaat harapan sudah hampir hilang, dia menge-tag namaku di sosial medianya. Membohongiku, menggangguku, menggodaku. Saat aku marah, atau lebih tepatnya pura-pura marah, karena aku tidak tahu apa aku sanggup marah kepadanya. Dia muncul menyapaku di sebuah sosial media. Meminta maaf karena telah menggodaku. Saat itu hatiku rasanya terlalu bahagia. Saling mengirimkan pesan melalui sosial media dengannya membuatku bahagia. 
Lalu, besoknya semua kembali seperti semula.

Aku ya aku dengan kenyataan yang harus aku terima. Dia ya dia dengan kehidupannya yang mungkin tidak akan bersinggungan denganku di masa yang akan datang.


Harapan Vs Kenyataan (3)

Ternyata harapanku akan dia memasuki tahapan akut atau stadium 3.
Walau begitu ini mungkin akan menjadi tahapan terakhir karena mulai saat itu aku mulai mengatakan kepada diriku sendiri, jangan tertipu. Jangan menipu dirimu sendiri. 

Sabtu malam kemarin, aku dia dan dua orang teman lainnya menghabiskan malam di sebual mall di kawasan Jakarta Selatan, atau lebih tepatnya disebuah tempat minum kopi yang berada di sebuah mall di kawasan tersebut. 

Entah bagaimana, aku dan dua orang temanku ini berpisah sementara dari dia dan kembali bertemu di kedai kopi tersebut. Aku melihat dia membawa sebuah kantong belanjaan. Hm. 

Sejujurnya, awalnya aku kembali berharap kalau itu adalah hadiah buatku. (lagi-lagi aku membodohi diriku). Akan tetapi itu bukan untukku. 

Setelah aku pikir-pikir, memang itu tidak akan pernah menjadi untukku. Kemungkinan terbesar adalah ia membeli hadiah untuk sepupunya yang berulang tahun tanggal 1 Agustus kemarin.

Tapi dengan kejadian ini aku membiarkan diriku menjadi orang bodoh dengan kadar kebodohan yang hampir mencapai 80%. Dan tentu saja ini sudah kelewatan. Bukankah aku sudah belajar dari pengalaman di waktu2 lalu?

Kenapa aku harus sebodoh itu sih? Kenapa????
Kenapa???!!!!!!
KENAPA??!!!!!!!!


Harapan Vs Kenyataan (2)

Setelah tanggal 30 sialan itu aku mulai memikirkan bahwa mengharapkanmu adalah sebuah kesalahan yang amat besar. Sebuah kebodohan yang luar biasa membiarkan perasaanku diatur naik dan turun oleh kebaikan dan perhatianmu kepadaku.

Niatku adalah membuat kau juga merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan, namun kenyataannya adag aku sekali lagi menemukan diriku dibodohi oleh harapan kepadamu.

Aku menginginkan hadiah itu darimu.
Aku menginginkan buku itu darimu.
Hanya darimu.
Aku mengira, tidak, aku berharap kau akan memberikannya untukku.
Ya, aku sekali lagi membiarkan harapanku melambung tinggi.
Dan... BRAKKK!!!
Aku menemukan diriku terjatuh ke dasar, dipenuhi dengan kesakitan dalam hati yang tidak dapat diungkapkan.
Aku menemukan diriku dipenuhi rasa malu yang sangat besar karena lagi-lagi aku dengan bodoh mengharapkanmu.

Pada akhirnya kebodohanku membuatku sadar bahwa ada banyak orang-orang yang mengasihiku. Mengapa aku harus selalu memikirkanmu? Mengapa aku tidak memikirkan mereka yang mengasihiku?

Aku mendapatkan buku itu, bukan darimu. Bukan dari orang yang kuharapkan. Namun, setidaknya dari orang yang mengasihiku. Mengingatku. 

Harapan Vs Kenyataan

30Juli2014

Sengaja mematikan semua alat sosial media, kecuali Path. Kenapa? Karena sewaktu perempuan itu ulang tahun kau membuatkannya komik dan menge-tag namanya di Path. Sewaktu mengingat itu aku kembali merasa kesal dan cemburu. Cih. Sebuah perasaan yang sangat hina. Tapi mengingat hal-hal itu membuatku membencimu. Jadi kupikir, kau akan menge-post sesuatu yang istimewa juga untukku kali ini. Kenyataannya, TIDAK.
Baiklah, pikirku. Aku membiarkan diriku menunggu, mungkin...mungkin...pikirku kau akan datang ke rumahku atau setidaknya me-whatsapp-ku secara pribadi untuk mengajakku jalan. Pergi entah kemana. Jadi aku membiarkan diriku menunggu, melihat keluar jendela, mengharapkan mobilmu datang. Namun, kenyataannya juga, TIDAK.
Lalu aku menyadari sekali lagi aku membodohi pikiranku sendiri. Membiarkan diriku memiliki harapan yang sedemikian besar kepadamu.


Entahlah, harapan itu selalu ada jika aku ada disekitarmu. Mungkin engkau tidak bermaksud memberikanku harapan itu, mungkin aku saja yang bodoh. Tapi aku tidak dapat menolak kebodohan itu. Aku tidak dapat menghindarinya jika kau selalu menuruti kemauanku. Aku bisa saja jadi makhluk yang egois. Aku jadi ingin memilikimu, padahal sudah jelas itu TIDAK akan menjadi kenyataan.