Bulan Febuari adalah bulan kesedihan.
Tidak ada hari kulalui tanpa melihat langit menangis.
Subuh ke pagi, pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam, malam kembali lagi ke subuh. Dalam waktu yang berbeda-beda ia terus menangis.
Di saat kupikir kondisinya baik-baik saja, dia mulai menjadi gelap, kilat mulai merobek awan dan langit pun mulai menangis.
Langit, mengapa kau harus selalu sendu dan sedih? Tak tahukah kau kalau aku turut merasakan kesedihanmu?
Tidak ada yang akan mempercayai, kalau seorang AKU dapat menangis tersedu-sedu dihadapannya.
Kejadian itu terjadi pada suatu hari yang cerah. Awan berwarna putih seperti habis dicuci, langit pun sedang tersenyum kepadaku, jadi aku balas tersenyum kepadanya.
Aku duduk dalam ruangan bernuansa krem dan merah. Menghadap sebuah layar monitor yang kecil lalu menatap layar monitor besar dikejauhan.
Aku sibuk mendengarkan dan mencatat pelajaran hari itu. Sampai ada sebuah pertanyaan terlontar dari pembicara. "Apakah kamu sudah benar-benar mengampuni orang yang menyakiti hatimu?"
Lalu aku melirik ke arahnya dan...
... (perasaan sakit apa ini menusuk dan merobek hatiku) pikirku.
Apakah aku belum memaafkannya? Setelah sekian lama hal itu berlalu.
Lalu aku mulai menangis.
Seperti langit diluar sana juga menangis.
Aku mulai tersedu-sedu.
Menundukkan kepalaku dan membiarkan butiran-butiran hangat membasahi pipiku.
Tanpa menyadari kalau dia sedang menatapku dengan tatapan heran dan tak percaya.
Aku tak tahu jika ia menatapku. Aku tak tahu jika ia memperhatikanku.
Temanku yang mengatakannya. Temanku berkata dirinya tampak terkejut melihatku menangis.
Maaf, tapi langitpun menangis dan aku tidak terkejut dengan kejadian itu.
Aku juga ingin menangis bebas seperti langit. Tanpa kenal waktu dan tempat. Aku ingin bisa menumpahkan isi hati dan kepenatan hidupku seperti langit.
Tangisanku membuat perasaanku yang gelap menjadi putih bersih seperti awan yang habis dicuci.
Terimakasih, langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar